Semarang, beritameteor – Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang diduga telah mengalokasikan anggaran lebih dari Rp3 miliar untuk program perjalanan keagamaan yang melibatkan 105 peserta, dengan biaya per orang mencapai Rp30–35 juta. Angka ini dinilai jauh melebihi tarif paket perjalanan keagamaan umumnya, sehingga memicu kecurigaan publik tentang potensi pembengkakan biaya menjelang akhir tahun anggaran 2025. Program ini melibatkan tokoh dari organisasi kemasyarakatan dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Salah satu agen perjalanan yang terlibat dalam program ini berlokasi di Ruko Pandanaran Hills, Jalan Kompol R. Soekanto No. 33 Blok AA, Mangunharjo, Tembalang.
Hingga saat ini, Pemkot belum memberikan penjelasan resmi mengenai proses pemilihan agen tersebut, baik melalui lelang, penunjukan langsung, atau mekanisme lain sesuai peraturan. Minimnya transparansi ini menimbulkan dugaan adanya pengaturan penyedia atau potensi benturan kepentingan.
Ketegangan publik meningkat setelah beredar foto yang diduga menunjukkan adik Wali Kota Semarang, Agustina Wilujeng P, mengikuti kegiatan perjalanan keagamaan di Turki pada 28 November 2024. Meski belum ada konfirmasi resmi dari pihak terkait, keterlibatan ini menambah pertanyaan masyarakat mengenai pelaksanaan program tersebut.
Aktivis antikorupsi menilai pola penganggaran semacam ini sering terjadi di berbagai daerah, di mana kegiatan yang diberi label “pemberdayaan masyarakat” berubah menjadi perjalanan rekreasi menggunakan dana negara.
Mereka mengidentifikasi tiga area rawan penyimpangan: biaya perjalanan tidak wajar karena tarif umumnya di bawah Rp30 juta per orang; pengadaan agen perjalanan tidak transparan tanpa dokumen kontrak yang diumumkan; serta potensi motif politik, mengingat peserta berasal dari jaringan ormas dan LSM yang dinilai memiliki kedekatan dengan pemangku jabatan pada Pilkada sebelumnya.
LSM dan pengamat kebijakan publik mendesak Inspektorat Kota Semarang, Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), serta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan pemeriksaan mendalam. Mereka meminta agar seluruh dokumen terkait, termasuk daftar peserta, rincian biaya, dan kontrak dengan agen perjalanan, dibuka ke publik.
“Jika benar biayanya mencapai Rp35 juta per orang, Pemkot harus mengungkap seluruh dokumen pendukung. Tanpa transparansi, wajar bila masyarakat curiga,” kata seorang pengamat kebijakan publik yang enggan disebut namanya.
Upaya wartawan untuk menghubungi Wali Kota Semarang pada 28 November 2024 guna meminta penjelasan terkait anggaran dan proses pengadaan tidak mendapat tanggapan. Sikap ini dinilai bertentangan dengan prinsip keterbukaan informasi publik.
Beberapa lembaga advokasi telah mulai mengumpulkan data, menelusuri keberadaan agen perjalanan, dan mengonfirmasi dokumen dari Organisasi Perangkat Daerah terkait. Kasus ini diperkirakan akan terus berkembang hingga Pemkot memberikan penjelasan resmi kepada publik.












